top of page
Writer's picturePaulus Chendi

Rahasia Bertahan Dalam Kesulitan Hidup

Updated: Aug 1, 2020


Ayub dikenal sebagai orang yang saleh, jujur dan baik serta hidup takut akan Allah dan senantiasa menjauhi kejahatan. Ayub sangat diberkati Tuhan dan menjadi orang yang paling kaya di Timur (1:1-3). Di hadapan Allah, Iblis menuduh motif Ayub hidup saleh karena ada udang di balik batu. Ayub hidup saleh karena diberkati Tuhan dengan kekayaan yang melimpah. Coba biarkan dia menderita, apakah dia masih akan tetap hidup dalam kesalehan? Sebentar saja kesalehannya akan berubah jadi kesalahan.

Apa motivasi kita hidup saleh? Setiap kita perlu menanyakan pertanyaan ini kepada diri kita sendiri. Benarkah kita hidup saleh karena sungguh-sungguh ingin bersekutu dan menikmati kehadiran Tuhan atau karena ingin dapat berkat Tuhan semata? Jangan-jangan kita sedang mempraktekkan tuduhan Iblis kepada Ayub. Kita hidup saleh karena ingin diberkati Tuhan. Memberi persembahan supaya Tuhan balas berkali lipat. Beribadah, berdoa, berbuat baik, dsb supaya Tuhan berpihak kepada kita. Kita perlu instrospeksi apa motivasi kita hidup saleh?

Untuk membongkar motivasi Ayub, di pasal 1:9-11, 2:4-5, kita membaca Allah mengijinkan Iblis mencobai Ayub dengan mengambil segala harta kekayaannya. Lalu Iblis membuat Ayub sangat menderita dan menghadapi krisis multi dimensial yang mungkin belum pernah dialami siapapun. Ayub mengalami krisis ekonomi: 7000 kambing domba, 3000 unta, 500 pasang lembu, 500 keledai betina semuanya habis dalam sekejap (1:14-17). Ayub dari orang yang terkaya, sekarang jadi orang yang paling miskin. Ayub mengalami krisis keluarga: dalam sehari 10 anaknya mati semua (1:18-19), istrinya tidak mensuport dia, jusru melemahkan imannya, menghina kesalehan dan kesetiaannya kepada Allah dan menyuruhnya mati (2:9-10). Ayub juga mengalami krisis kesehatan: tubuhnya penuh dengan barah yang busuk dari telapak kaki sampai ke batu kepalanya (1:7). Terakhir Ayub mengalami krisis masa depan: hartanya habis, anak-anaknya mati, istrinya meninggalkan dia, kesehatannya memburuk, teman-temannya menyalahkan dia. Sumber apalagi yang ada pada Ayub yang bisa diharapkan menopang masa depannya? Tidak ada. Habis semua.

Tidak ada seorangpun yang sengaja mencari-cari penderitaan, sungguhpun demikian, melalui kitab Ayub, kita dibawa untuk memiliki perspektif yang lain tentang penderitaan. Kita perlu menyadari bahwa terkadang Tuhan justru pakai penderitaan, kesulitan, bahkan sakit penyakit untuk memurnikan iman seseorang atau membentuk karakter seseorang. Tuhan hendak membersihkan iman kita dari motivasi-motivasi yang tidak tepat. Di pihak kita penderitaan itu tidak baik, akan tetapi yang tidak baik menurut kita, belum tentu tidak baik di mata Allah.

Saya dengar orang suka berdoa begini: “Segala penyakit kami tolak dalam nama Yesus. Segala kesulitan dan penderitaan kami tolak dalam nama Yesus.” Pokoknya yang menurutnya tidak baik ditolak-tolak. Tapi kalau keuntungan…? Kami terima dalam nama Yesus (sambil tersenyum malu). Kata-kata penolakkan semacam ini kedengarannya rohani, tetapi sebetulnya justru membuat kita meragukan kebaikan Allah. Kalau kita percaya Bapa di sorga memberikan yang terbaik, tidak perlu tolak sana sini, sepertinya Allah salah memberi dan perlu ditolak. Berdoa seperti ini malah membuat kita kehilangan perspektif yang lebih luas tentang bagaimana Allah bekerja untuk kebaikan kita. Berdoa seperti ini jelas menempatkan diri sendiri sebagai pusat bukan lagi Allah sebagai yang utama. Keberadaan Allah hanya untuk memenuhi kebutuhan kita yang membuat kita bahagia.

Coba kalau Ayub waktu itu juga ikut-ikutan berdoa “segala penderitaan dan sakit penyakit saya tolak dalam nama Tuhan Yesus!” Lalu terdengar suara dari sorga, “Ayub, Ayub kamu ini ndak ngerti, itu Aku yang kirim bro…!” Makanya kita jangan sembarangan berdoa tolak ini tolak itu, nanti kalau Tuhan jawab “Itu Aku yang kirim bro…” malu kan kita? Niat Tuhan mau memurnikan kita lewat penderitaan malah ditolak, ya salahnya siapa? Untungnya Ayub bukan tipe pendoa seperti itu, sebaliknya Ayub berkata, “Karena Ia tahu jalan hidupku; seandainya Ia menguji aku, aku akan timbul seperti emas.” (23:10). Ayub memilih berserah kepada Tuhan karena ia percaya bahwa Tuhan yang paling tahu jalan hidupnya. Saya pribadi melihat Tuhan ijinkan Covid 19 ini terjadi sebagai bentuk ujian untuk memurnikan iman kita. Menghadapi penderitaan hidup ini, mari kita seperti Ayub yang berkata, “Tuhan Engkau yang paling tahu jalan hidupku, kalau Engkau mengijinkan ini terjadi, berikanlah kekuatan agar aku dapat menanggungnya dan memuliakan nama-Mu.” Ini doa yang indah. Ini doa yang mencerminkan sikap orang yang dewasa rohaninya.

Iblis tahu kalau ia tidak boleh membunuh Ayub ia masih bisa “membunuh” pengharapan hidup Ayub dengan membuatnya seputus-asa mungkin terhadap hidup dan terhadap Tuhan. Demikian juga, melalui Covid-19, Iblis mungkin juga telah membunuh pengharapan hidup banyak orang Kristen melalui sikap putus asa, kuatir, ketidak berdayaan, kebangkrutan, kematian anggota keluarga. Sehingga banyak orang Kristen marah kepada Tuhan dan meninggalkan imannya. Jangan mau pengharapan kita dibunuh oleh Iblis. Percayalah Tuhan selalu menyertai kita.

Dalam menghadapi penderitaannya Ayub masih menyimpan iman yang bergantung penuh kepada Allah. Dua resolusi iman yang luar biasa dari Ayub tercatat demikian, “Dengan telanjang aku keluar dari kandungan ibuku, dengan telanjang juga aku akan kembali ke dalamnya. TUHAN yang memberi, TUHAN yang mengambil, terpujilah TUHAN!” (1:21). “Apakah kita mau menerima yang baik dari Allah, tetapi tidak mau menerima yang buruk?” (2:10). Mengapa Ayub bisa berkata seperti itu? Kesanggupan kita menerima dan menanggung penderitaan yang datang menimpa, berhubungan dengan pengetahuan yang benar tentang Allah yang kita miliki. Ayub sadar segala hartanya adalah pemberian Tuhan. Waktu lahir tidak bawa apa-apa, sekarang dia punya, Tuhanlah yang memberi. Kalau Tuhan mau ambil itu haknya Tuhan. Tuhan punya kedaulatan atas hidup kita, yang buruk sekalipun kalau itu dari Tuhan itu tetap yang terbaik untuk kita karena Dia adalah sumber kebaikan. Pernyataan iman yang simple tetapi powerful. Kalau saya mah akan bilang, Tuhan Engkau kok tidak seperti kasih ibu kepada beta, hanya memberi tak harap kembali. Tuhan kok ambil kembali semuanya? Ayub hidup saleh dan kesalehannya keluar dari iman yang murni kepada Allah bukan karena ada udang di balik batu.

Iman orang Kristen perlu diuji supaya murni bukan muna (munafik), supaya jangan status rohani tapi kelakuan roh halus. Iman yang murni dengan iman yang palsu harus dibedakan. Iman yang murni tahan menghadapi ujian, iman yang palsu tidak akan bertahan menghadapi ujian. Iman yang murni akan menopang ketika kita dalam penderitaan, sebaliknya iman yang palsu tidak memberi faedah apa-apa, malah mencelakakan. Kalau kita memiliki iman yang murni, iman itu akan menopang kita ketika semua topangan sudah tidak ada.

Kisah Ayub memperlihatkan kepada orang Kristen masa kini bahwa iman merupakan kunci kemenangan untuk dapat melewati semua problem kehidupan yang diijinkan Tuhan. Iman adalah alat ketahanan menghadapi penderitaan. Iman itulah yang menjadi sumber kekuatan Ayub dalam menghadapi penderitaannya. Bagaimana dengan kita khususnya dalam menyikapi pandemik Corona saat ini? Apakah iman yang ada pada kita adalah iman yang murni atau ternyata selama ini kita hidup dengan iman yang palsu? Mampukah kita tetap mempercayai Allah sekalipun kita dalam penderitaan? Sebagaimana Allah mengajak Ayub untuk percaya kepada hikmat dan karakter-Nya dalam mengatur dunia ini, kita pun diminta untuk mempercayai hikmat dan kasih-Nya saat menghadapi penderitaan sebab Dia adalah Bapa yang mengasihi kita dan memberikan yang terbaik kepada anak-anak-Nya. Amin!

Comments


bottom of page